siang ini, saya berhasil menyelesaikan paper saya mengenai BAPER (bawa bawa perasaan). Essay ini berperan sebagai wahana riset saya mengenai komunikasi intrapersonal dengan fenomena sosial media. Kurang lebihnya, fenomena bahaya dari fitur socmed kayak "listening to" di Path atau "seen" bahkan "read" di instant massaging yang kerap jadi kasus kesalahpahaman dalam socialita remaja di kota-kota besar masa kini. Padahal kenyataannya, di Path kita sudah baca status temen tapi sibuk atau sesederhana dengerin lagu aja tanpa ada hubungan keadaan emosional kita sama seseorang, cerminan suasana hati, tapi konklusinya udah terbentuk.
Seandainya saja konten di dunia maya memudahkan saya menemukan kata kunci, saya benar-benar tercengang dengan sejumlah fakta, bahwa pelanggaran "pergaulan bebas" yang saya pikir adalah sebuah candaan ucapan seadanya bisa menjadi tragedi sebuah lingkungan pertemanan.
Berawal dari promo buku Quotes galau, sebenarnya saya mencermati hikmah dibalik kejadian. Ada sejumlah wanita paruh baya yang berkegiatan di dunia pendidikan. Sebut saja, srikandi. Srikandi punya keluarga besar dan salah satu ibu dari kumpulan Srikandi dikaruniai sejumlah anak perempuan. Entah terbiasa bergaul dengan remaja-remaja kota besar Jakarta atau memang gaya hidup kota yang menyebabkan anak ini terbiasa melakukan apa saja yang dia mau.
Dalam tragedi lingkungan pertemanan, saya menerima kenyataan dari pengamatan saya bahwa kejadian quotes dalam kisa Raditya-kakak ada benernya, gue ngalamin. alih-alih quotes itu mirip temen yang solider, ada benernya, penguat hati yang sedang melow. Quotes itu sebanrnya diartikan sebagai kata-kata status update di socmed.
Dalam promo lainnya, "siapa tidak kenal Quotes - kalimat mutiara yang bikin semangat, galau.. sedih, semua itu tergantung kontennya.
Ini ceritanya, beberapa orang dalam berhubungan, seseorang berubah karena terlalu banyak membaca quotes galau dan akhirnya terpengaruh kepada "bacaan" dan merubah cara pandangnya terhadap pasangan. Padahal yang menjalani hubungan dia, bukan quotes.
Tanpa sadar pasangannya diperlakukan secara salah. Dan yang dia lakukan adalah mencocok-cocokan keadaan mereka dengan quotes yang tersebar dihadapan dia, sesuai kata hati dan drama dari paparan emosi yang dia rasa (ngarep juga kadang). Akhir cerita pasangan hidup dia disalahi dan kenyataan dia tinggalkan hingga berbulan-bulan bahkan tahun.
Up date up date status.. juga foto-foto kebahagiaan mereka di masa lalu melalui socmed juga, jadi bahan ketawaan, bahkan bahan "riset" orang-orang stalker sama dia. Cerita-cerita yang dia share sebagai motivasi keadaan usaha dia jadi bahan tontonan.
"ohhh mamanya itu"..
"wahhh senangnya kalian akur lagi"..
kalo lagi ga mau berbagi apapun, saya hanya berusaha empati, mungkin dia sudah lebih dewasa untuk tidak menunjukan keharmonisan barunya atau apapun. Layaknya berita yang ditayangkan. biar menjadi kenangan. seandainya dia menyatakan sesuatu, kita tanpa sadar yang niatnya mau baik menyapa dia - jadinya mikir.. udah lama nggak ketemu. nanya kabar seadanya. Dan asumsi, dunianya baik-baik saja tanpa kabar penting untuk didiskusikan (bagi dia). seandaianya mau didiskusikan, kita bisa langsung komentar. Namun, konklusi dia baik-baik saja sudah terbentuk.
Tapi kalo dia serius komentar, dan saat baper itu melanda.. gue jadi roaming, dia ga gitu-gitu amat soalnya. Saat dia up date status diselingi berita-berita empati di socmed, merasa ketularan aura negatif dia.. di-PHP-in atau merasa dibikin sakit hati? akhirnya kan jadi stalking, ini keluarga anaknya ga bener.
Kemarin dia pencitraan jadi anak baik dan liburan berasa jadi celebriti banget. di lain hari, dia melakukan pemaksaan asumsi dia kepada orang lain. Akhirnya, gue jadi terkekeh-kekeh sambil mengumpat basi ahhh (nyesek), gue pikir dia anak baik. dan berusaha untuk percaya ungkapan-ungkapan dia saat ngomong langsung saat tatap muka atau gue hanya seorang blooper yang kepo urusan orang. Dan akhirnya gagal paham, akhirnya gue dingin dan sejumlah fakta yang gue terima anggap sekedar tahu aja. Dunia kita udah beda.